Aktifitasku beberapa pekan ini kalau hujan turun adalah menyaksikan
jutaan tetesan air yang turun ke bumi. Ya, hampir tiap hari hujan turun,
padahal bulan ini seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Mungkin ini
akibat dari - yang sering dikatakan oleh orang-orang dengan rentetan
gelar dibelakangnya- sebuah fenomena Global Warming.
Aku ingat bahwa salah satu ciri utama dari global warming ialah perbedaan musim yang
cukup ekstrem. Bisa saja di tempat aku berdiri ini hujan turun dengan
derasnya, tetapi bisa jadi jauh di seberang sedang kering kerontang yang
menerpa. Ini semua adalah akibat ulah manusia yang tidak menghargai
keseimbangan ekosistem. Dengan seenaknya orang menebangi ribuan pohon,
membuang sampah sembarangan, dan memakai bahan bakar yang boros. Akibat
menebang pohon maka akan terjadi run off yang besar di permukaan tanah,
sehingga menimbulkan banjir. Akibat membuang sampah sembarangan maka
terjadi penyumbatan di saluran pembuangan dan menimbulkan banjir pula.
Rumit sekali bagiku mengaitkan antara aktifitas manusia dengan fenomena
alam yang sederhana, yang sering kita sebut hujan ini.
Bagiku hujan hanya sebuah persoalan sederhana. Bagaimana alam mengajarkan kepada kita tentang menyuburkan sesuatu yang gersang. Menghidupkan sesuatu yang mati. Kita lihat dari proses hujan itu sendiri. Air hujan berasal dari penguapan air laut. Uap-uap air ini kemudian berkumpul di titik ketinggian tertentu dan mengalami –istilahnya orang pinter- kondensasi, yang pada akhirnya kita menyebutkan sebagai gumpalan awan. Awan-awan ini kemudian terbawa angin. Terbang sekehendak hati. Apabila awan-awan ini merasakan beban yang terlalu berat karena membawa sekian puluh ribu liter air, maka awan ini menjatuhkannya dalam bentuk butiran-butiran. Hal inilah yang kemudian dikenal orang sebagai peristiwa hujan.
Uniknya, karena peristiwa kimia tertentu, air laut yang tadinya asin berubah menjadi tawar dengan hujan. Dan dengan air inilah, hujan menghidupkan kembali tanah-tanah gersang disebuah tempat nun jauh disana. Tanah-tanah itu bisa kembali ditanami dengan berbagai macam tanaman yang dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Hujan ini pulalah yang menyuplai kebutuhan air sebagian besar tanaman dan tumbuhan yang ada di bumi ini. Ya, begitulah hujan memainkan peranannya.
Sebagai manusia pun maka terkadang kita juga memerlukan hujan dalam diri kita. Hujan yang akan membuat hati yang gersang menjadi hidup kembali. Hujan yang akan membuat kesejukan pada hati yang kering. Hujan yang akan menawarkan racun-racun yang bersemayam dalam hati kita. Hujan dalam diri manusia kita mengenalnya sebagai air mata. Dan proses munculnya air mata inilah yang disebut dengan menangis.
Terkadang kita seringkali menganggap bahwa menangis adalah symbol dari kelemahan seseorang atau symbol dari sebuah kesedihan. Orang yang menangis seringkali kita anggap bahwa mereka bukan orang-orang yang tangguh, bukan seorang fighter sejati. Maka yang sering kita lakukan ketika melihat orang sedang menangis ialah membujuknya untuk berhenti. Yang faktanya malah tidak pernah begitu berhasil. Sekali-kali biarkanlah orang itu menangis, atau kalau kita bisa maka ikutlah menangis dengannya. Karena hanya dengan air mata lah hati kita layaknya tanah yang mendapatkan siraman hujan. Dari gersang menjadi subur. Dari kering menjadi sejuk. Dari mati menjadi hidup.
Bagiku hujan hanya sebuah persoalan sederhana. Bagaimana alam mengajarkan kepada kita tentang menyuburkan sesuatu yang gersang. Menghidupkan sesuatu yang mati. Kita lihat dari proses hujan itu sendiri. Air hujan berasal dari penguapan air laut. Uap-uap air ini kemudian berkumpul di titik ketinggian tertentu dan mengalami –istilahnya orang pinter- kondensasi, yang pada akhirnya kita menyebutkan sebagai gumpalan awan. Awan-awan ini kemudian terbawa angin. Terbang sekehendak hati. Apabila awan-awan ini merasakan beban yang terlalu berat karena membawa sekian puluh ribu liter air, maka awan ini menjatuhkannya dalam bentuk butiran-butiran. Hal inilah yang kemudian dikenal orang sebagai peristiwa hujan.
Uniknya, karena peristiwa kimia tertentu, air laut yang tadinya asin berubah menjadi tawar dengan hujan. Dan dengan air inilah, hujan menghidupkan kembali tanah-tanah gersang disebuah tempat nun jauh disana. Tanah-tanah itu bisa kembali ditanami dengan berbagai macam tanaman yang dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Hujan ini pulalah yang menyuplai kebutuhan air sebagian besar tanaman dan tumbuhan yang ada di bumi ini. Ya, begitulah hujan memainkan peranannya.
Sebagai manusia pun maka terkadang kita juga memerlukan hujan dalam diri kita. Hujan yang akan membuat hati yang gersang menjadi hidup kembali. Hujan yang akan membuat kesejukan pada hati yang kering. Hujan yang akan menawarkan racun-racun yang bersemayam dalam hati kita. Hujan dalam diri manusia kita mengenalnya sebagai air mata. Dan proses munculnya air mata inilah yang disebut dengan menangis.
Terkadang kita seringkali menganggap bahwa menangis adalah symbol dari kelemahan seseorang atau symbol dari sebuah kesedihan. Orang yang menangis seringkali kita anggap bahwa mereka bukan orang-orang yang tangguh, bukan seorang fighter sejati. Maka yang sering kita lakukan ketika melihat orang sedang menangis ialah membujuknya untuk berhenti. Yang faktanya malah tidak pernah begitu berhasil. Sekali-kali biarkanlah orang itu menangis, atau kalau kita bisa maka ikutlah menangis dengannya. Karena hanya dengan air mata lah hati kita layaknya tanah yang mendapatkan siraman hujan. Dari gersang menjadi subur. Dari kering menjadi sejuk. Dari mati menjadi hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar